12/09/07

Mei Hitam: Ingatan Orang Pinggiran

Sejujurnya saya tak menyaksikan langsung Kerusuhan Mei 1998. Saya tak menyaksikan orang menjarah, membakar, apalagi yang lebih terkutuk dari itu.

Kenapa? Saya hanya di rumah, di Pondokgede. Dan memilih di rumah karena alasan keamanan. Yang saya lihat kemudian adalah jejak-jejak kerusuhan.

Beberapa hari sebelumnya saya berada di luar kota dan kurang mengikuti berita. Padahal biasanya saya tak hanya membaca lebih dari satu koran tetapi juga menyimak siaran radio luar negeri.

Selasa malam 12 Mei saya baru tiba di Terminal Pulogadung dan tak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Sampai di rumah sudah larut, lalu tidur.

Rabu pagi 13 Mei saya dengar dari entah siapa bahwa di Jakarta ada kerusuhan. Sekitar pukul sepuluh saya ke Matahari di Pondokgede Asri (Plaza) bersama istri, naik skuter.

Saya borong bahan makanan, susu, dan kebutuhan lain yang saya perkirakan sangat diperlukan oleh kedua putri saya (lima tahun dan setahun).

Saya membayar semuanya dengan kartu kredit sampai memepet limit. Peduli amat dengan tagihan nanti, pikir saya. Ketika saya membayar di kasir, satpam toko mulai menarik turun rolling door. Beberapa mulut di toko bilang bahwa perusuh akan sampai di sana.

Sebelum meninggalkan plaza, saya ke ATM untuk menguras saldo sampai hampir tandas. Dalam situasi seperti itu saya butuh uang tunai.

Alangkah penuhnya skuter oleh belanjaan padahal saat itu, di tengah krisis ekonomi, tak semua orang bisa berbelanja sesuka hati. Ada rasa kurang enak, dan sedikit bersalah, apalagi pernah mendengar kabar burung perampasan belanjaan terhadap seorang ibu sekeluar dari toko.

Setibanya di rumah, saya keluar lagi. Saya datangi rumah tetangga yang menjual beras. Bukan warung, hanya rumah tinggal. Waktu itu memang bermunculan warung sembako. Saya beli beras sekarung. Jika situasi kian memburuk, saya masih bisa menyediakan nasi tanpa lauk untuk keluarga -- tapi saya lupa dari mana akan mendapatkan gas atau pun minyak tanah.

Selanjutnya adalah kesimpangsiuran informasi dan ketegangan. Saluran telepon, ternasuk selular, pada macet. Pengiriman SMS, yang belum lintas operator, juga buntu. Lagi pula waktu itu ponsel belum menjadi gadget setiap orang karena masih mahal.

Saya adalah orang di luar pusaran. Hanya mendengar kabar yang tak pasti. Radio memberitakan (misalnya Sonora) dan menambah kegalauan karena melaporkan suara warga dari banyak lokasi. Saya lupa apa saja yang dilaporkan oleh televisi.

Hari itu dan berikutnya warga berjaga. Ada saja kabar rombongan perusuh mendekati kompleks terluar dari wilayah kami. Beberapa kali pengeras suara masjid mengumumkan agar wanita dan anak-anak masuk ke rumah, biarlah para pria yang berjaga-jaga. Beberapa orang sudah menyiapkan apa saja yang bisa dipakai untuk bertempur, dari pipa besi sampai golok.

Setiap orang yang datang dari bepergian menjadi sumber berita. Kami bertanya dan terus menanggap. Kami ingin tahu apa yang mereka lihat, mereka alami...

Saya, tepatnya kami, adalah orang di luar kawasan panas, bahkan jauh dari pusatnya, tapi kami tegang dan gelisah. Kami juga ngeri.

Ketika telepon sudah berfungsi saya kontak beberapa teman keturunan Cina. Saya lega mereka selamat. Ada juga yang sulit saya hubungi, tapi belakangan saya tahu dia mengungsi ke rumah kerabatnya. Toko kakaknya dijarah.

Tidak ada yang istimewa dari catatan saya, sehingga tak memperkaya proses pengumpulan ingatan kolektif. Saya seperti orang luar Indonesia yang hanya mendengar kabar.

Setelah kerusuhan berlalu, informasi yang saya dapat kian lengkap, dan mengerikan. Sedih dan galau saya berlipat.

Anda yang menyaksikan langsung, yang mengalami, apalagi sebagai penolong maupun korban, pastilah bisa mengungkap lebih banyak. Kita tidak boleh melupakan hari-hari laknat itu agar kita bisa belajar agar tak terulang lagi.

Paman Tyo
blogombal.org

Tidak ada komentar: