15/09/07

Arief Berbagi...

Saya memang tidak secara langsung mengetahui peristiwa itu. dan tidak ingat persis dimana saya tgl 13-14 mei itu, selain bahwa terjadi pembakaran dimana-mana dan kendaraan umum sulit didapat. Saya jalan kaki pulang dari tempat saya kerja dibilangan grogol sampai di slipi (JDC) lalu menyambung kendaraan umum dan sambung truk yang disediakan tentara utk mengganti bus yang tidak operasi ke kantor isteri saya di menteng. Di sepanjang jalan pemandangan menyedihkan melihat orang dengan wajah gembira bercampur kikuk menggotong barang2 jarahan. Lalu saya dan isteri naik kereta api ke lenteng agung, didalam kereta pun banyak orang membawa barang jarahan, bahkan meja kerja pun dibawa naik kereta! pasar minggu terbakar. semua serba absurd.

Menyedihkan melihat toko-toko ditulisi dengan cat: "milik pribumi", "milik muslim" dan seterusnya. Namun ketika saya ikut meronda didaerah Alfa Indah kebon jeruk, dimana mayoritas warga alfa indah adalah etnis tionghoa, saya menemukan pengalaman indah. Ketika isu tersebar di warga alfa indah bahwa ada beberapa truk tak dikenal akan menyerbu perumahan alfa indah. Warga Alfa indah yang bukan-Tionghoa ada yang memasang sejadah/alas sembahyang di pagar rumahnya. Namun ada seorang perempuan tua yang tidak mau memasang sajadah di pagar rumahnya: dia merasa sedih dan tidak enak, katanya: "kalau saya pasang sajadah dipagar rumah, kok seakan-akan mau bilang: 'silakan jarah rumah tetangga saya' jangan rumah saya". Saya masih kagum pada cara pandang ibu itu. semoga bangsa ini akan semakin dewasa dan punya cara berpikir seperti ibu itu.

Mari kita peringati 10 tahun mei 98.
Mari kita buat monumen (dalam arti sesungguhnya) untuk mei 98. agar anak cucu kita tidak mengulangi lagi tragedi kemanusiaan demikian.

14/09/07

Tidak Mudah untuk Melupakan (part 1)

Selama sembilan tahun terakhir, Mei selalu datang dengan warna kelam dalam ingatan dan rasa sesak akibat marah dan kecewa. Masih segar dalam ingatanku kejadian 13-14 Mei 1998 itu. Asap hitam menyelubungi Jakarta yang terbakar, kantong plastik hitam berjajar berisikan tubuh-tubuh hangus terjebak dalam api, tangis mereka yang kehilangan orang-orang yang dikasihi, dan nanar tatap mereka yang kehilangan seluruh jerih payahnya dalam waktu yang begitu singkat.

Bagaimana pula tidak marah? Ini peristiwa luar biasa. Semua dokumentasi, baik oleh organisasi masyarakat sipil maupun tim gabungan pencari fakta, menunjuk pada adanya pola penyerangan dan keterlibatan aparat keamanan negara. Pihak yang merencanakan pastinya keji karena tak segan mengorbankan begitu banyak jiwa untuk kekuasaan, entah itu untuk mempertahankan ataupun merebut kekuasaan. Pihak yang merencanakan pastinya biadab karena tak ragu menggunakan kebencian begitu dalam terhadap etnis Tiongho dan juga terhadap masyarakat miskin kota untuk kepentingannya. Pihak yang merencakanan mestinya juga licik, karena menggunakan politik pecah-belah antar elemen dalam masyarakat.

Berturut-turut kekecewaan ditelan akibat negara dan elit terus menghambat proses menghadirkan keadilan bagi korban- tidak hanya bagi mereka yang menjadi korban langsung ataupun keluarganya, tetapi juga seluruh bagi seluruh bangsa ini yang terkoyak. Kecewa, karena ternyata masih banyak dari kita yang tak bisa lepas dari jebakan angka seolah jiwa yang meninggal, terluka dan patah tak ada artinya selain statistik belaka. Malah ada daari kita yang terlibat dalam perang kata-kata saling menyalahkan dan melecehkan berbasis ras dan agama. Atau justru menyatakan penyangkalan dan memojokkan korban.

Mei yang seperti ini, apakah akan berulang lagi di tahun kesepuluh?

12/09/07

Mei Hitam: Ingatan Orang Pinggiran

Sejujurnya saya tak menyaksikan langsung Kerusuhan Mei 1998. Saya tak menyaksikan orang menjarah, membakar, apalagi yang lebih terkutuk dari itu.

Kenapa? Saya hanya di rumah, di Pondokgede. Dan memilih di rumah karena alasan keamanan. Yang saya lihat kemudian adalah jejak-jejak kerusuhan.

Beberapa hari sebelumnya saya berada di luar kota dan kurang mengikuti berita. Padahal biasanya saya tak hanya membaca lebih dari satu koran tetapi juga menyimak siaran radio luar negeri.

Selasa malam 12 Mei saya baru tiba di Terminal Pulogadung dan tak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Sampai di rumah sudah larut, lalu tidur.

Rabu pagi 13 Mei saya dengar dari entah siapa bahwa di Jakarta ada kerusuhan. Sekitar pukul sepuluh saya ke Matahari di Pondokgede Asri (Plaza) bersama istri, naik skuter.

Saya borong bahan makanan, susu, dan kebutuhan lain yang saya perkirakan sangat diperlukan oleh kedua putri saya (lima tahun dan setahun).

Saya membayar semuanya dengan kartu kredit sampai memepet limit. Peduli amat dengan tagihan nanti, pikir saya. Ketika saya membayar di kasir, satpam toko mulai menarik turun rolling door. Beberapa mulut di toko bilang bahwa perusuh akan sampai di sana.

Sebelum meninggalkan plaza, saya ke ATM untuk menguras saldo sampai hampir tandas. Dalam situasi seperti itu saya butuh uang tunai.

Alangkah penuhnya skuter oleh belanjaan padahal saat itu, di tengah krisis ekonomi, tak semua orang bisa berbelanja sesuka hati. Ada rasa kurang enak, dan sedikit bersalah, apalagi pernah mendengar kabar burung perampasan belanjaan terhadap seorang ibu sekeluar dari toko.

Setibanya di rumah, saya keluar lagi. Saya datangi rumah tetangga yang menjual beras. Bukan warung, hanya rumah tinggal. Waktu itu memang bermunculan warung sembako. Saya beli beras sekarung. Jika situasi kian memburuk, saya masih bisa menyediakan nasi tanpa lauk untuk keluarga -- tapi saya lupa dari mana akan mendapatkan gas atau pun minyak tanah.

Selanjutnya adalah kesimpangsiuran informasi dan ketegangan. Saluran telepon, ternasuk selular, pada macet. Pengiriman SMS, yang belum lintas operator, juga buntu. Lagi pula waktu itu ponsel belum menjadi gadget setiap orang karena masih mahal.

Saya adalah orang di luar pusaran. Hanya mendengar kabar yang tak pasti. Radio memberitakan (misalnya Sonora) dan menambah kegalauan karena melaporkan suara warga dari banyak lokasi. Saya lupa apa saja yang dilaporkan oleh televisi.

Hari itu dan berikutnya warga berjaga. Ada saja kabar rombongan perusuh mendekati kompleks terluar dari wilayah kami. Beberapa kali pengeras suara masjid mengumumkan agar wanita dan anak-anak masuk ke rumah, biarlah para pria yang berjaga-jaga. Beberapa orang sudah menyiapkan apa saja yang bisa dipakai untuk bertempur, dari pipa besi sampai golok.

Setiap orang yang datang dari bepergian menjadi sumber berita. Kami bertanya dan terus menanggap. Kami ingin tahu apa yang mereka lihat, mereka alami...

Saya, tepatnya kami, adalah orang di luar kawasan panas, bahkan jauh dari pusatnya, tapi kami tegang dan gelisah. Kami juga ngeri.

Ketika telepon sudah berfungsi saya kontak beberapa teman keturunan Cina. Saya lega mereka selamat. Ada juga yang sulit saya hubungi, tapi belakangan saya tahu dia mengungsi ke rumah kerabatnya. Toko kakaknya dijarah.

Tidak ada yang istimewa dari catatan saya, sehingga tak memperkaya proses pengumpulan ingatan kolektif. Saya seperti orang luar Indonesia yang hanya mendengar kabar.

Setelah kerusuhan berlalu, informasi yang saya dapat kian lengkap, dan mengerikan. Sedih dan galau saya berlipat.

Anda yang menyaksikan langsung, yang mengalami, apalagi sebagai penolong maupun korban, pastilah bisa mengungkap lebih banyak. Kita tidak boleh melupakan hari-hari laknat itu agar kita bisa belajar agar tak terulang lagi.

Paman Tyo
blogombal.org

09/09/07

dari Wimar Witoelar di perpektif.net

Peristiwa Mei 1998 membingungkan sebab faktanya belum pernah terungkap. Kepentingan penguasa pada umumnya adalah mengubur peristiwa itu sebagai kecelakaan sejarah. Upaya penyelidikan dan penegakan hukum selalu menjumpai jalan buntu. Akhirnya orang percaya apa yang ia ingin percaya. Bagi yang tidak mau merepotkan hidupnya, kenangan Mei 1998 dikesampingkan dari ingatan.

RiotPoints.jpg

Begitu besarnya skala kesedihan dan kekejaman di bulan Mei 1998 sehingga orang tidak bisa menangkapnya. Dalam proses seleksi kognitif massal, masyarakat berpaling dari kenyataan dan melanjutkan kehidupan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Memang muncul protes keras terhadap kekerasan dan simpati bagi para korban, tapi kecenderungan orang untuk tidak membahayakan dirinya meluputkan para pelaku dan perancang peristiwa Mei 1998 dari sangsi yang seharusnya berjatuhan dalam skala besar.

Perspektif Online. 16 May 2006

01/09/07

Ada Apa di Bulan Mei Itu?

13-14 Mei 1998. Sebuah tragedi kemanusiaan terjadi di Jakarta, Indonesia.

Sampai kini, tindak lanjut peristiwa (yang hampir berumur sepuluh tahun) itu, belum tuntas penyelesaiannya...

think!

Even if you are a minority of one, the truth is the truth
Mahatma Gandhi